Beranda | Artikel
Larangan Memandang Amrad
Sabtu, 5 November 2022

Pertanyaan:

Apa yang dimaksud dengan amrad? Saya mendengar bahwa laki-laki dilarang memandang laki-laki lain yang disebut amrad? Apakah itu benar?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. Amma ba’du,

Yang dimaksud dengan al-amrad atau al-murdan, secara bahasa, adalah laki-laki yang mencukur habis kumisnya dan tidak berjenggot, sehingga pada wajahnya tidak ada kumis dan jenggot. Dalam al-Qamus al-Muhith disebutkan definisi al-amrad,

الشَّابُّ طَرَّ شارِبُهُ ولم تَنْبُتْ لِحْيَتُهُ

“Pemuda yang dicukur habis kumisnya dan tidak tumbuh jenggotnya.”

Dalam Mu’jam Musthalahat Syar’iyyah disebutkan :

الأمرد :الشخص الصغير الأملس الوجه قبل البلوغ الذي لم تنبت له لحية في وجهه

Al-amrad adalah anak laki-laki yang masih kecil yang mulus wajahnya, sebelum baligh, dan tidak tumbuh jenggot pada wajahnya.”

Namun secara istilah fikih, al-amrad adalah laki-laki yang mulus wajahnya tanpa kumis dan jenggot, baik sudah baligh atau belum, sehingga ia menjadi mirip seperti wanita. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah (6/252) dijelaskan,

هُوَ مَنْ لَمْ تَنْبُتْ لِحْيَتُهُ، وَلَمْ يَصِل إِلَى أَوَانِ إِنْبَاتِهَا فِي غَالِبِ النَّاسِ وَالظَّاهِرُ أَنَّ طُرُورَ الشَّارِبِ وَبُلُوغَهُ مَبْلَغَ الرِّجَال لَيْسَ بِقَيْدٍ، بَل هُوَ بَيَانٌ لِغَايَتِهِ، وَأَنَّ ابْتِدَاءَهُ حِينَ بُلُوغِهِ سِنًّا تَشْتَهِيهِ النِّسَاءُ

Al-amrad adalah lelaki yang tidak tumbuh jenggotnya dan ia memang belum mencapai usia tumbuh jenggot pada keumuman keadaan masyarakat. Namun yang tepat, dicukur habisnya kumis dan usia baligh bukanlah patokan. Namun ia sekedar indikasi dari poin utama dari al-amrad, yaitu menyerupai wanita. Dan hal itu memang dimulai ketika masa-masa mendekati baligh.”

Maka lelaki dewasa yang mulus wajahnya tanpa kumis dan jenggot, sehingga ia menjadi mirip seperti wajah wanita, ia juga termasuk al-amrad atau al-murdan.

Para ulama menjelaskan bahwa lelaki yang mukallaf (sudah baligh) dilarang memandang kepada al-amrad, berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30-31)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan ayat ini:

 أي أرشد المؤمنين وقل لهم ، الذين معهم إيمان يمنعهم من وقوع ما يخل بالإيمان : يغضوا من أبصارهم عن النظر إلى العورات ، وإلى النساء الأجنبيات ، وإلى المُردان الذين يخاف بالنظر إليهم الفتنة

“Maksudnya, Allah ta’ala membimbing kaum mukminin yang masih punya iman dan iman mereka mencegah mereka melakukan hal-hal yang mencacati iman mereka, dan ini sedikit, untuk menundukkan pandangan mereka. Agar tidak memandang kepada aurat, dan kepada wanita yang nonmahram, atau kepada al-murdan yang dikhawatirkan terjadi fitnah (godaan) jika memandang mereka.” (Tafsir as-Sa’di, hal. 515)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memandang al-amrad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

” الصبي الأمرد المليح بمنزلة المرأة الأجنبية في كثير من الأمور ، .. ولا يجوز النظر إليه على هذا الوجه [ يعني بشهوة ] باتفاق للناس ، بل يحرم عند جمهورهم النظر إليه عند خوف ذلك ” انتهى .

“Anak kecil laki-laki yang amrad dan cantik wajahnya, hukumnya sama seperti wanita nonmahram dalam banyak perkara … dan tidak boleh memandang wajahnya jika disertai syahwat berdasarkan kesepakatan ulama. Dan diharamkan memandang wajahnya oleh jumhur ulama (jika wajahnya tidak cantik) ketika dikhawatirkan menimbulkan godaan.” (Fatawa al-Kubra, 3/202)

Dijelaskan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah,

“Jika al-amrad tidak cantik wajahnya dan tidak menimbulkan godaan, maka ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah menegaskan hukumnya sama seperti memandang laki-laki yang lain (yaitu boleh). 

Adapun jika ia terlihat cantik dan menimbulkan godaan, ini perlu dirinci. Kaidahnya, seorang al-amrad dianggap memikat atau tidaknya ini berdasarkan ‘urf dari orang yang memandang, walaupun ia berkulit hitam. Karena memikatnya wajah itu berbeda-beda patokannya di setiap masyarakat dan kebudayaan. Maka dalam hal ini perlu dirinci menjadi dua keadaan:

Pertama, jika memandang al-amrad serta berduaan dengannya dilakukan tanpa niat untuk berlezat-lezat dan orang yang memandang merasa aman dari fitnah (godaan). Seperti seorang ayah yang memandang anak laki-lakinya atau saudara laki-lakinya yang termasuk al-amrad. Dan dalam keadaan ini secara umum tidak ada maksud untuk berlezat-lezat. Maka hukumnya boleh dan tidak ada dosa menurut jumhur fuqaha.

Kedua, jika memandang al-amrad serta berduaan dengannya dilakukan dengan niat berlezat-lezat dan disertai syahwat. Maka haram memandangnya. 

Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mengkategorikan memandang al-amrad dalam bab memandang wanita yang bukan mahram. Yaitu jika disertai syahwat walaupun masih diragukan ada tidaknya syahwat, maka hukumnya haram. Bahkan memandang al-amrad jika dengan syahwat itu dosanya lebih besar (daripada memandang wanita). Karena potensi fitnah (godaan) pada al-amrad lebih besar daripada potensi godaan wanita.

Adapun berduaan dengan al-amrad, hukumnya sama dengan memandang al-amrad. Bahkan berduaan dengan al-amrad lebih besar kerusakannya. Sampai-sampai ulama Syafi’iyah memandang haramnya al-amrad berduaan dengan al-amrad lainnya, walaupun mereka banyak jumlahnya.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 6/252 – 253)

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan:

كان السلف يقولون في الأمرد : هو أشد فتنة من العذارى ، فإطلاق البصر من أعظم الفتن 

“Dahulu para salaf mengatakan tentang al-amrad: mereka lebih besar godaannya daripada wanita perawan. Melepaskan pandangan tanpa batasan adalah fitnah (musibah) yang paling besar.” (Kasyful Qana’, 5/37)

Di antara bahaya tidak menundukkan pandangan terhadap al-amrad adalah timbulnya penyakit suka kepada sesama jenis yang akan membawa kepada perbuatan kaumnya Nabi Luth ‘alaihissalam, yaitu liwath (sodomi). ‘Iyyadzan billah!. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لأنها تُشْتَهَى، وهو يُشْتَهَى، بعض الناس قد يشتهي المُرْدان أكثر، مثل قوم لوط، فقوم لوط تركوا النساء وتحولوا إلى المُرْدان -نسأل الله العافية- حتى عاقبهم الله بالخَسْف

“Karena al-murdan itu bisa menimbulkan godaan. Sebagian orang lebih tergoda oleh al-murdan (daripada oleh wanita). Seperti kaumnya Nabi Luth ‘alaihissalam. Kaumnya Nabi Luth meninggalkan wanita dan mendatangi para al-murdan -kita memohon keselamatan kepada Allah dari perbuatan semacam ini-. Sehingga akhirnya Allah pun mengazab mereka.” (Fatawa ad-Durus)

Maka yang lebih hati-hati adalah tidak memandang al-amrad sama sekali kecuali yang dipastikan tidak akan menimbulkan godaan, seperti memandang anak sendiri atau saudara sendiri. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan,

هذا الذي رآه النووي رحمه الله في كتاب الأذكار من تحريم النظر إلى الأمرد مطلقاً هو ما اختاره سداً للذريعة؛ لأن من الناس من يكون سافل الهمة والإرادة، فينزل بنفسه إلى أن ينظر إلى المردان نظره إلى النسوان، وهذا شيء موجود، ويكثر ويقل بحسب الأماكن والأزمان. وحيث إن هذا الأمر خطير جداً، وأن مسألة التعلق بالمردان لها عواقب وخيمة منها أنها قد تؤدي إلى اللواط والعياذ بالله،

“Ini adalah pendapat yang dipilih an-Nawawi rahimahullah dalam kitab al-Adzkar, yaitu diharamkannya memandang al-amrad secara mutlak. Ini juga pendapat yang aku pilih, dalam rangka menutup celah kepada keburukan. Karena sebagian orang yang rendah semangatnya kepada kebaikan, mereka lebih suka memandang al-murdan daripada memandang wanita. Ini perkara yang terjadi secara riil. Dan terkadang perkara-perkara bisa terbolak-balik di sebagian masa dan sebagian tempat. Maka perkara ini sangat bahaya sekali. Perkara al-murdan ini memiliki akibat-akibat yang buruk, di antaranya adalah hal ini akan membawa kepada liwath (sodomi), wal ‘iyyadzu billah.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 59)

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik

Was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40583-larangan-memandang-amrad.html